Menguak Tabir Prana dengan Fisika
KOMPAS Jumat, 27 Juni
2003
SEBAGIAN masyarakat umumnya
masih memandang perguruan yang memfokuskan diri pada tenaga dalam seperti Nampon,
Satria Nusantara, Prana Sakti, Sinlamba, dan banyak perguruan sejenis lainnya yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia, sebagai ilmu yang sarat hal mistik dan di luar nalar manusia.
Karena itu, keberanian Nampon menyeminarkan fenomena tenaga prana dari sudut pandang
ilmu fisika dan menghadirkan guru besar fisika teoretis ITB Prof Pantur Silaban, merupakan hal yang amat positif.
NAMPON dan sejenisnya adalah
salah satu kekayaan asli budaya Indonesia yang perlu dilestarikan dan digali eksistensinya.
Ilmu Nampon sendiri berkembang sejak 1932. Tercatat nama besar seperti
Bung Karno pernah belajar ilmu ini, saat
menjadi mahasiswa THS (sekarang ITB) di Bandung.
Fenomena tenaga
prana pada beberapa perguruan
sering dikaitkan dengan terpentalnya si penyerang ketika
berusaha menyerang seseorang yang memiliki tenaga tersebut.
Guru besar Satria Nusantara
(SN) Maryanto (1990), menjelaskan gejala tenaga prana dengan pendekatan teori
medan Elektromagnetik (EM). Si penyerang memberikan frekuensinya yang berbanding lurus dengan energi
kepada yang diserang. Akibatnya, terjadi penguatan amplitudo yang akan memperbesar energi balik ke
penyerang dan menyebabkan gangguan kepada yang bersangkutan, sesuai intensitas energi yang diaktifkan.
PENJELASAN tenaga prana dari
sudut pandang ilmiah pada beberapa perguruan sejenis di Indonesia umumnya mengikuti teori gelombang EM di atas, di mana mekanisme penjalaran tenaga prana dijelaskan melalui interaksi berdasarkan jarak (action at distance) yang memerlukan
pengertian medan (besaran fisis yang mempunyai nilai di setiap titik dalam
ruang) dan gelombang sebagai perantaranya.
Untuk membuktikan kebenaran
teori EM, medan energi pada pelaku tenaga prana harus dapat diukur dan
dinyatakan secara kuantitatif.
Faktanya, sampai saat ini belum ada hasil ilmiah yang dapat menunjukkan
kebenaran ide tersebut, walaupun pendekatan dengan model EM adalah yang tertua
dipikirkan manusia sejak dahulu (Cazzamalli, 1925).
Kelemahan penjelasan dengan mekanisme ini terletak pada proses rambatan
gelombang EM yang memerlukan jeda waktu, sedangkan fenomena tenaga prana
sendiri pada praktiknya tidak terbatas oleh adanya ruang dan waktu.Dengan
demikian, perlu dicari mekanisme yang lebih representatif untuk menjelaskan
fenomena tenaga prana. Beberapa ahli fisika dan psikologi mengajukan beberapa
konsep seperti Model Entropi dan Proses Acak (Gatlin, 1972), dan Model
Perwakilan Ruang Hiper (Feinberg, 1967, 1975).
Bahkan ada yang lebih jauh lagi
dengan model yang dinamakan
Kecerdikan Jagat Raya (Universal Intelligence).
Model ini mengatakan bahwa eksistensi
pikiran manusia melingkupi semua ruang dan waktu. Apa yang ingin diwujudkan dalam ruang dan waktu dapat diprogram pikiran manusia.
DARI semua model di atas, penulis tertarik dengan Model Holografik yang dikembangkan pakar fisika David Bohm dan pakar psikologi Karl Pribram (1971,1975,1976). Mereka menyimpulkan bahwa informasi di alam ini bukan
merupakan fungsi ruang dan waktu, tetapi dalam bentuk
getaran yang dalam ilmu Fisika diwakili
dengan persamaan gelombang dengan amplitudo dan frekuensi
masing-masing.
Kesadaran manusialah yang melakukan Transformasi Fourier
(sebuah konsep matematika yang dapat memetakan semua proses fisik di alam dalam
bentuk frekuensi dan amplituda serta kelipatannya) agar dapat mewujudkan informasi tersebut ke dalam
ruang dan waktu.
Penjabaran lebih lanjut model ini adalah kesadaran manusia (pikiran) dapat mengambil semua getaran yang ada di alam. Kemudian
melalui proses transformasi
tenaga prana, abstraksi dapat diwujudkan ke dalam ruang
dan waktu.
Dengan mengikuti perkembangan model fisika di atas, pemahaman pada mekanisme tenaga prana tidak lagi terbatas
pada dimensi yang sempit, hanya sebatas ruang
dan waktu, melainkan juga
pada dimensi yang lebih luas yang menyangkut wilayah esoterik dan dimensi kesadaran yang hanya dimiliki manusia.
Oleh karena itu, diperlukan pengertian ilmu fisika dan cabang disiplin ilmu lainnya yang lebih komprehensif. Dengan kata lain diperlukan sebuah konsep
yang dapat menjelaskan segala sesuatu di alam semesta berdasarkan teori
tunggal. Teori tersebut
dalam ilmu fisika dikenal sebagai A Theory of Everything.
ALBERT Einstein menghabiskan waktu
lebih dari 30 tahun sisa hidupnya
untuk membangun teori yang dapat menggabungkan empat gaya dasar yang berlaku di alam semesta: gravitasi, elektromagnetik, dan dua buah gaya nuklir, kuat
dan lemah.
Sebuah teori yang diharapkan dapat menjelaskan proses terjadinya dentuman besar (big bang) pada awal evolusi, fisika
dalam partikel atom dan semua hal-hal mikroskopik.
Namun demikian, misi itu sampai
akhir hayat hidupnya bahkan sampai saat ini
belum juga tercapai.
Kompatriot Einstein berusaha
menciptakan teori tersebut dengan menggabungkan teori relativitas (untuk menjelaskan gravitasi) dan fisika kuantum (untuk gelombang elektromagnetik dan 2 gaya nuklir, kuat dan lemah).
Dua hal yang saling berlawanan, yang satu berkisar pada hal besar seperti galaksi,
quasar, dan yang satunya lagi
hal kecil di dunia sub-atomik, hal yang diskrit seperti paket energi disebut
kuanta, ternyata gagal setelah 50 tahun berusaha mewujudkan A Theory of Everything.
DEWASA ini para pakar fisika
berusaha mendekatinya dengan pendekatan lain. Ada Stephen Wolfram dengan teori
Automata Selular dan Michio Kaku dengan
pendekatan perwakilan ruang Hyperspace.
Dalam kaitannya dengan pemahaman pada beberapa model
yang telah dipaparkan sebelumnya, mungkin buku Michio Kaku (1994) yang berjudul
Hyperspace: A Scientific Odyssey Through Parallel Universes, Time Warps and the
Tenth Dimension, dapat menjelaskan
mekanisme tenaga prana lebih baik lagi
dalam usaha perumusan teori di atas.
Kaku mendapatkan idenya dari penemuan Einstein tahun 1915 yang mengatakan bahwa alam semesta
terdiri dari empat dimensi: ruang dan waktu yang berkembang. Kelengkungannya menyebabkan gaya yang disebut gravitasi .
Kemudian Theodore Kaluza pada tahun
1921 meneruskan riset
Einstein tersebut dan mengatakan
bahwa riak pada dimensi ke lima dapat dilihat sebagai
cahaya .
Bagaimana dengan dimensi yang lebih besar dari lima?
Kaku memperkenalkan teori
yang disebut superstring . Jadi kelengkungan
yang terjadi pada ruang dan
menyebabkan gravitasi merupakan paket kecil dari string yang bergetar dan beresonansi .
Demikian juga cahaya yang merupakan riak dari dimensi ke-5 adalah komponen string lainnya. Dengan begitu, empat gaya
dasar tadi dapat digabungkan dan peristiwa di dalamnya menjadi dimensi yang lebih besar: 10 dimensi.
Dengan 10 dimensi itu Kaku berhipotesis bahwa semua proses yang terjadi sehari-hari-termasuk fenomena tenaga prana-dapat dijelaskan.
PERKEMBANGAN ilmu fisika belakangan ini bahkan tidak berhenti
hanya pada 10 dimensi, masih ada dimensi
yang lebih besar lainnya. Banyak konsep bermunculan, seperti pendekatan dengan teori membran dan sebagainya yang semakin menuju pada hasil unifikasi gaya-gaya yang mengatur seluruh alam semesta.
Semua penjelasan ilmiah yang dibentangkan dalam artikel ini
pada intinya adalah meyakinkan bahwa di luar panca indera
yang terbatas, masih ada dimensi yang lebih tinggi dan belum dieksplorasi dan dirasakan.
Cara berpikir dan bekerja
sensor manusia, terbiasa dalam lingkup ruang
dan waktu (empat dimensi). Pada kenyataannya, pikiran manusia tidak terbatas hanya pada ruang dan
waktu tersebut.
Sudah saatnya ilmu pengetahuan dan teknologi mengarahkan risetnya pada hal-hal
yang esoterik yang dulu dikatakan sebagai meta-rasional , seperti adanya
konsep aura, orbs, dan tenaga prana. Dengan demikian, tenaga prana dan metoda
penyembuhan yang menggunakan media ini serta segala aspek aplikasinya bisa
dikuantifikasi secara ilmiah bila A Theori of Everything telah ditemukan.
Pada saat itu, tenaga prana akan terbuka tabirnya dan bukan lagi merupakan hal
mistik, seperti anggapan sebagian masyarakat saat ini.
Fadli Syamsudin Praktisi dan pengamat perkembangan tenaga prana, staf
peneliti TISDA-BPPT.